Menentukan Pilihan Dengan Hati, Menuju
Pendidikan Berkarakter
Oleh: Nenden Theresia, M.Pd
Mengapa Menentukan Pilihan Dengan Hati?
Memilih dengan hati. Tampaknya
ini merupakan ajakan bijak. Memilih dengan hati, mungkin dimaksudkan sebagai
perwujudan sebuah tindakan sungguh-sungguh, dan tidak semata merupakan tindakan
yang dihasilkan dari proses sembrono dan terburu-buru. Memilih dengan hati
kadang dikaitkan dengan suara hati nurani, atau ‘hati kecil’. Banyak orang
percaya suara hati adalah suara paling benar dan murni karena belum tercampur oleh pemikiran-pemikiran lain atau
bujukan-bujukan dari luar hati.
Hati sering diikuti dengan kata
‘nurani’. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, hati nurani diartikan sebagai cahaya dari Tuhan. Oleh karena itu,
hati nurani bersifat keilahian dan benar, dan dapat menjadikan tuntunan untuk
dilakukan atau tidak dilakukan. Hati dalam konteks ilmu sosial, termasuk dalam
konteks pemilihan umum, bisa jadi dapat dikaitkan dengan perasaan, sebagai
lawan dari pikiran atau juga rasionalitas. Perasaan dapat diasosiasikan dengan
afeksi, dimensi dari sikap, yang merujuk pada dorongan internal untuk
bertindak, yang melibatkan dimensi “suka-tidak suka”, “baik-buruk,” atau
“indah-tidak indah”.
Mau makan apa, mau sekolah di mana,
mau menikah dengan siapa, nyoblos
siapa, membuka usaha apa, dan seterusnya. Semuanya serba pilihan. Karena itu,
barangkali tidak berlebihan jika ada
mengatakan bahwa belajar menentukan sebuah pilihan harus ditempatkan sebagai
ilmu dasar yang mesti diberikan, dicari, dan dipelajari oleh siapa pun. Bahkan,
jika perlu, pelajaran “menentukan memilih” bisa diajarkan secara khusus di
sekolah-sekolah, pondok pesantren, dan bahkan perguruan tinggi. Kenapa? Agar tidak lebih banyak lagi orang kebingungan. Juga agar manusia tidak masuk ke dalam golongan tabi’isme
(pengikut) alias mbebek, atau mengekor.
Tuhan telah membekali manusia
dengan akal dan hati, tidak lain sebagai bekal kita dalam menentukan pilihan.
Mau golongan hijau, kuning, merah, biru atau putih? Ya, golput juga sebuah
pilihan. Melawan kemungkaran dengan tangan, mulut, atau sebatas hati, kita mau
milih mana? Diam juga bagian dari pilihan.
Dalam menentukan pilihan, tentu
kita tidak boleh hanya mengandalkan bantuan otak, baik otak kanan atau otak
kiri. Jika hanya otak yang kita pakai, bisa jadi pilihan kita tergolong cerdas,
tetapi tidak bijak. Sebab, sangat mungkin bukankah pilihan kita bergesekan,
atau berbenturan dengan pilihan orang lain. Oleh karena itu, menentukan pilihan dengan hati akan mempengaruhi
perkembangan kehidupan selanjutnya termasuk perkembangan dalam bidang
pendidikan. Jika pilihan tersebut dilakukan berdasarkan hati, maka konfigurasi
karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
yang salah satunya adalah Olah
Hati (Spiritual and emotional
development) dapat berpengaruh
terhadap pendidikan karakter. Hasil konfigurasi Olah hati adalah terbentuknya
karakter jujur dan bertanggung-jawab. Hal tersebut selaras dengan harapan kita
terhadap karakter calon-calon pemimpin bangsa ini. Maka memilih dengan hati
akan mengarahkan kita kepada pendidikan yang berkarakter.
Menuju Pendidikan
Berkarakter
A.
Konsep
Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan,
hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh
(UNY, 2008), karakter mengacu
kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang
perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi
dirinya, yang ditandai dengan
nilai-nilai seperti reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan
inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban,
pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih,
teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif,
visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu,
pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan
(estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif
sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu
yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter
dapat dimaknai sebagai “the deliberate
use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai
sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy
Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate
effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values.
When we think about the kind of character we want for our children, it is clear
that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure
from without and temptation from within”.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang
sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk
pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat,
dan warga negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai
luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber
dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang
juga disebut sebagai the golden rule.
Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari
nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai
karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan
isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan
kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan
dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab;
kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada
nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai
yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat
relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Berdasarkan grand
design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial
kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks
totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan
dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development) , Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic
development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective
and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai
berikut.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut
Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori
yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan
pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral
kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut,
Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai
teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan
afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian
psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan
afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan
dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami
nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam
pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
B.
Nilai-nilai
Karakter
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama,
norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM,
telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai
utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan.
Berikut adalah daftar nilai-nilai utama yang dimaksud dan diskripsi ringkasnya.
1.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan Tuhan
a.
Religius
Pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang
diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran
agamanya.
2.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri
a.
Jujur
Perilaku
yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan,
baik terhadap diri dan pihak lain
b.
Bertanggung jawab
Sikap dan perilaku
seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
c.
Bergaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik
dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat
mengganggu kesehatan.
d.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
e.
Kerja
keras
Perilaku
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
f.
Percaya diri
Sikap yakin
akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan
harapannya.
g.
Berjiwa
wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau
berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi
untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
h.
Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Berpikir
dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan
termutakhir dari
apa yang telah dimiliki.
i.
Mandiri
Sikap dan
perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
j.
Ingin
tahu
Sikap dan
tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
k.
Cinta
ilmu
Cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi
terhadap pengetahuan.
3.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan sesama
a.
Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu
dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan
orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
b.
Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut
dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
c.
Menghargai
karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan
menghormati keberhasilan orang lain.
d.
Santun
Sifat yang
halus dan baik dari sudut pandang tata
bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
e.
Demokratis
Cara
berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
4.
Nilai
karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
a.
Peduli
sosial dan lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu
ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
5.
Nilai
kebangsaan
Cara
berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
a.
Nasionalis
Cara
berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsanya.
b.
Menghargai keberagaman
Sikap memberikan respek/ hormat terhadap berbagai
macam hal baik yang berbentuk fisik,
sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
C.
Tahapan Pengembangan Karakter
Pengembangan atau
pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah dan
stakeholders-nya untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan
karakter di sekolah. Tujuan
pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik
(insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong
peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai
hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan
hidup. Masyarakat juga berperan membentuk karakter anak melalui orang tua dan
lingkungannya.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan
(knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada
pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu
mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi
kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah
emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter
yang baik (components of good character)
yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling atau perasaan
(penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral.
Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat
dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan,
menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah
kognitif adalah kesadaran moral (moral
awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values),
penentuan sudut pandang (perspective
taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian mengambil sikap (decision
making), dan pengenalan diri (self
knowledge). Moral feeling
merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus
dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita
orang lain (emphaty), cinta kebenaran
(loving the good), pengendalian diri
(self control), kerendahan hati (humility). Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan
hasil (outcome) dari dua komponen
karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan
yang baik (act morally) maka harus
dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will),
dan kebiasaan (habit).
Pengembangan karakter dalam suatu sistem
pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung
nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan
saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau
emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama,
lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional (lihat Diagram 1).
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin
bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya
nilai karakter (valuing). Karena
mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat
salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika
seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan
karena keinginannya yang tulus untuk mengharagi nilai kejujuran itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen
ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan
untuk berbuat kebaikan. Pendidikan karakter yang baik dengan demikian harus
melibatkan bukan saja aspek “knowing the
good” (moral knowing), tetapi
juga “desiring the good” atau “loving the
good” (moral feeling), dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu
semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham.
Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni
mengembangkan moral knowing, kemudian moral
feeling, dan moral action. Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral
dimiliki manusia, maka akan makin membentuk karakter yang baik atau
unggul/tangguh.
Diagram
1. Keterkaitan komponen moral dalam pembentukan karakter
Pengembangan karakter sementara
ini direalisasikan dalam pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau
pelajaran lainnya, yang program utamanya cenderung pada pengenalan nilai-nilai
secara kognitif, dan mendalam sampai ke penghayatan nilai secara afektif.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak
ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya
ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa
batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya
keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini
disebut Conatio, dan langkah untuk
membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif. Pendidikan
karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari
pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara
afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro
menterjemahkannya dengan kata-kata cipta,
rasa, karsa.
D. Prinsip-Prinsip
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter harus didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Mempromosikan
nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter
2. Mengidentifikasi
karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku
3. Menggunakan
pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter
4. Menciptakan
komunitas sekolah yang memiliki kepedulian
5.
Memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan perilaku yang baik
6. Memiliki
cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghargai semua
peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses
7. Mengusahakan
tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik
8.
Memfungsikan
seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk
pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama
9. Adanya
pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif
pendidikan karakter
10. Memfungsikan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter
11. Mengevaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan
manifestasi karakter posisitf dalam kehidupan peserta didik.
Peserta didik dapat dikatakan berkarakter
kuat dan baik jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang telah
ditanamkan dalam proses pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dan
spiritual dalam kepribadiannya untuk menjalankan tugas dan kewajibannya
mengelola alam (dunia) sehingga bermanfaat bagi kebaikan dirinya, keluarganya,
masyarakat, dan alam semesta. Semua itu akan terwujud jika bangsa ini dipimpin
oleh orang-orang yang berkarakter baik.
Tuhanlah Yang Maha membolak-balikkan hati manusia.
Maka, ketika engkau dihadapkan dengan pilihan-pilihan, terutama pilihan-pilihan
yang rumit, maka mintalah bimbingan Tuhan agar diberi jalan yang terbaik. Bangsa ini
membutuhkan orang-orang yang memiliki hati. Kehadiran mereka bagaikan oasis
segar di tengah padang gurun krisis sosial yang terjadi sekarang ini. Semoga kita senantiasa mendapatkan bimbingan Allah SWT dalam menentukan pilihan dengan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar