Kamis, 01 Oktober 2015

"MENDIDIK DENGAN HATI” Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi



"MENDIDIK DENGAN HATI”
Menemukan Kembali Pendidikan Yang Manusiawi

Oleh:
Nenden Theresia, M.Pd

“Semua anak itu cerdas. Bila guru tidak dapat menemukannya dalam diri anak, artinya guru tidak bisa menggali potensi anak. Maka mendidik dengan hati adalah kunci untuk menggali dan menemukan potensi cerdas anak didik.”
Mendidik adalah sebuah proses. Proses untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi yang terbaik dalam diri anak didik. Mendidik dengan hati tujuannya hanya satu, yakni terjadinya kesinambungan antara otak dan hati. Kesinambungan antara otak dan hati ini adalah manifestasi spiritualitas yang merupakan kunci mendidik dengan hati. Kegiatan dan hasil pembelajaran di sekolah akan jauh berbeda antara pendidikan kognitif dan pendidikan hati. Ini tidak berarti bahwa pendidikan formal tidak bisa menjadi pendidikan hati, sebab hati manusia dibawa ke mana pun ia pergi dan beraktivitas. Hati merupakan bagian tubuh dari manusia yang selalu menuntun ke jalan yang benar. Bukan rahasia lagi, bahwa anak yang membenci gurunya akan takut dan cemas ketika berada di sekolah, bahkan tidak mau ke sekolah. Sekolah menjadi pengalaman traumatik bagi anak. Itulah fakta yang sering terjadi di lingkungan pendidikan kita saat ini.
Kekuatan pancaran dan dampak hati dari guru kepada anak ikut menentukan perkembangannya, bahkan sampai seumur hidup. Jika demikian, alangkah pentingnya makna pembelajaran dan pendidikan dari guru, bukan hanya pengajaran yang memancarkan ilmu dan fakta (transfer ilmu semata) melainkan pancaran hati sanubari yang merupakan kekayaan bathin seorang pendidik. Bahasa hati atau bahasa kalbu melebihi bahasa tubuh. Bukan kepandaian guru semata dalam mengajar melainkan harus ada unsur “welas asih”.
Jika kita pahami lebih dalam mengenai makna pendidikan itu sendiri, adalah upaya sadar orangtua dan lembaga pendidikan untuk mengenalkan anak (peserta) didik kepada Allah SWT, Tuhan yang telah menciptakannya, agar dia bisa menggunakan seluruh potensi yang telah Allah SWT anugerahkan, beribadah kepada-Nya dalam rangka mensyukuri nikmat-Nya, dan untuk berbuat baik kepada sesama dengan selalu mengutamakan kemuliaan akhlak.
Pendidikan dapat dikatakan sebagai sebuah proses pembelajaran, memang tidak cukup hanya sekedar mengejar masalah kecerdasan saja. Berbagai potensi anak didik juga harus mendapatkan perhatian yang proporsional agar berkembang secara optimal. Karena itulah aspek rasa atau emosi maupun keterampilan fisik juga perlu mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang.
Sejalan dengan hal tersebut, Ki Hajar Dewantara mengenalkan kepada kita istilah cipta, rasa, dan karsa. Aspek cipta yang berhubungan dengan otak dan kecerdasan, aspek rasa yang berkaitan dengan emosi dan perasaan, serta karsa atau keinginan maupun keterampilan yang lebih bersifat fisik.
Sementara itu, Benyamin Bloom (1956) mengemukakan konsep kognitif, afektif dan psikomotorik yang dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom. Pengertian kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam Taksonomi Bloom ini membagi adanya 3 domain, ranah atau kawasan potensi manusia dalam belajar.
Manusia memiliki berbagai karakteristik, yaitu kualitas yang menunjukkan cara-cara khusus dalam berpikir, bertindak, dan merasakan dalam berbagai situasi. Karakteristik ini sering dikelompokkan menjadi tiga kategori utama. Pertama, karakteristik kognitif yang berhubungan dengan cara berpikir yang khas. Kedua karakteristik afektif, yaitu cara yang khas dalam merasakan atau mengungkapkan emosi. Ketiga karakteristik psikomotor yang berhubungan dengan cara bertindak atau berperilaku yang khas.
Karakteristik afektif memiliki beberapa kriteria. Pertama, harus melibatkan perasaan dan emosi seseorang. Kedua, harus bersifat khas. Ketiga, merupakan kriteria yang spesifik, harus memiliki intensitas, arah, dan target (sasaran). Yang dimaksud dengan intensitas adalah tingkat atau kekuatan perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat daripada yang lain. Misalnya “sayang” lebih kuat daripada “suka”. Tambahan lagi, beberapa orang memiliki perasaan yang lebih tajam daripada yang lain. Arah perasaan dapat dibedakan menjadi positif atau negatif, atau perasaan baik dan tidak baik. Misalnya, senang adalah perasaan yang baik atau positif, sedangkan benci merupakan perasaan tidak baik atau negatif. Anak Usia Dini seharusnya merasa senang ketika berada di sekolah, bukan sebaliknya merasa cemas.     
Perlu dipahami bahwa pengembangan karakteristik afektif pada anak didik memerlukan upaya secara sadar dan sistematis. Terjadinya proses kegiatan belajar pada ranah afektif dapat diketahui dari tingkah laku anak yang menunjukkan adanya kesenangan belajar. Perasaan, emosi, minat, sikap dan apresiasi positif menimbulkan tingkah laku yang konstruktif dalam diri anak (Kelly, 1965).
Perasaan dapat mengontrol tingkah laku, sedangkan pikiran (kognisi) tidak. Perasaan dan emosi memiliki peran utama dalam menghambat atau mendorong proses pembelajaran dalam diri anak. Oleh karena itu, ranah afektif perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran. Lemahnya pendidikan afektif di sekolah disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor penyebab tersebut ialah guru-guru merasa kurang mantap dalam merumuskan tujuan afektif. Sebab lainnya, tujuan afektif lebih sulit diukur daripada tujuan kognitif. Untuk itulah kita harus kembali memahami makna mendidik dengan hati agar terjadi kesinambungan antara otak dan hati dalam proses pembelajaran.
Guru dapat memberikan suatu keyakinan kepada anak, bahwa mereka mampu berprestasi, mereka bisa berkreasi, mereka dapat melakukan yang terbaik, dan bahwa mereka adalah anak-anak yang cerdas. Berikan kepada mereka suatu kebebasan berekspresi dan bereksplorasi dalam berbagai bidang yang mereka minati. Yakinlah bahwa dengan memberikan kasih sayang kepada mereka sebagaimana kita menyayangi anak kita sendiri dan dengan pembimbingan yang tulus serta curahan perhatian dari kita selaku pendidik, mereka akan mampu menjadi manusia seutuhnya yang cerdas secara intelektual maupun cerdas secara emosi dan spiritualnya sehingga dapat melakukan sesuatu secara positif dan bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya.
Wallahu’alam Bi Showab....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar